KADO TERINDAH BUAT BUNDA

bunda-kakak

bunda-kakak

Malam itu saya benar-benar tidak bisa menahan diri. Dari jam 09.00 sampai 15.00 mengajar full di kampus tanpa berhenti. Sampai rumah masih menjumpai Aufa yang tidak mau sekolah dan rewel minta mainan air, sementara jam 16.30 harus menjemput kakaknya di sekolah. Dalam perjalanan Aufa tertidur. Tidak mudah bagi saya naik motor sambil memegang Aufa yang tertidur. Alhamdulillah, sampai juga di sekolah dengan selamat. Saya tidak bisa langsung membawa kakak pulang karena harus menunggu Aufa yang pulas dalam gendongan saya hingga jam 17.30 baru cabut dari sekolah.

Sampai di rumah, saya harus menyiapkan segala hal aktivitas berikutnya, terutama makan malam, dan mendampingi anak-anak. Habis sholat isya kakak minta baca Al Quran. Tapi, sepanjang baca Al Quran, kakak marah-marah terus. Saya tahu, dia ingin mainan sama adiknya tapi juga ingin mengaji. Saya sarankan mengaji dulu 1 halaman saja, setelah itu bermain dengan adiknya. Dia tetap cemberut. Saran saya balik, mainan sama adik dulu, baru mengaji. Dia tetap tidak mau. Saya tahu kakak sedang bingung membuat prioritas dan memutuskan mana yang ingin dia lakukan lebih dulu karena keduanya sama-sama menyenangkan.

Pada saat yang sama, adiknya minta merengek minta susu. Dia juga mau ditemani seperti kakaknya. Tak urung, saya tak bisa menahan amarah. Capek, dongkol, bingung, dan semua rasa bercampur jadi satu. Satu bentakan pun tak bisa saya tahan. Lalu, saya minta izin ke anak-anak untuk masuk kamar. Anak-anak pun bermain sendiri. Tak lama kemudian, Aufa ketok-ketok pintu. Saya izinkan masuk. Segera ia memberikan amplop kecil diberikan ke saya. Isinya coret-coretan. “Ini apa, Dek?” tanya saya. “Aku sayang Bunda,” jawabnya sembari memluk saya, lalu memberikan dotnya yang belum sempat saya buatkan. “Bunda, aku minta susu!” pintanya. Saya pun segera membuatkan susu. Aufa tertidur di sebelah saya. Sementara kakak masih di kamar. Saya tidak tahu apa yang tengah ia lakukan. Sengaja saya masih diam untuk mengendapkan segala rasa tak enak itu.

Paginya, saya mengajak kakak ngomong baik-baik. “Kakak tahu kenapa tadi malam Bunda marah?” tanya saya.

Kakak hanya mengangguk.

“Semalam Bunda kecapekan, Nak. Bunda di kampus dari pagi sampai sore. Sampai rumah adik rewel, terus Bunda jemput kakak itu,” kata saya.

“Sama, Nda. Aku juga capek. Aku sekolah lebih pagi dari Bunda. Pulangnya juga lebih sore dari Bunda. Aku kan tadi ada ekstra robot. Habis itu aku masih harus nunggu adik yang tidur,” jawabnya tak mau kalah.

“Berarti kita sama-sama capek. Kalau sama-sama capek, berarti kita harus saling membantu. Bunda tak bisa jadi bunda yang baik kalau nggak dibantu anak-anaknya. Kakak pengen punya bunda yang baik kan?” jawab saya belajar bijak.

Kakak mengangguk tapi masih dengan sisa-sisa cemberutnya.

“Bunda minta maaf ya?”

Kakak mengangguk. Setelah itu dia memeluk saya kencang sekali. Meski masih berat untuk menyatakan maafnya, tapi pelukannya sudah lebih dari cukup untuk menyatakan kata maaf itu. Dan pagi itu kakak cantik sekali. Dia menyiapkan segala keperluan sekolahnya sendiri: tas, bekal, mandi, makan, sepatu, dan sebagainya. Terima kasih ya Allah, kau berikan bidadari yang shalihah dalam hidup saya.

“Kakak itu hadiah terindah untuk Bunda. Terima kasih ya,” kata saya saat dia mencium tangan saya di depan gerbang sekolah.

Yogyakarta, 30 September 2011

Tinggalkan komentar